您的当前位置:首页 > 热点 > Sinergi Jadi Kunci Transformasi Ekonomi di Tengah Ancaman Deindustrialisasi dan Minimnya Inovasi 正文
时间:2025-05-21 04:10:07 来源:网络整理 编辑:热点
Warta Ekonomi, Jakarta - Indonesia tengah berada di persimpangan penting dalam perjalanan ekonominya quickq加速器安卓版
Indonesia tengah berada di persimpangan penting dalam perjalanan ekonominya. Di satu sisi, sektor industri masih menjadi tulang punggung Produk Domestik Bruto (PDB). Namun di sisi lain, kontribusinya terus menurun – dari sekitar 26% di awal 2000-an menjadi hanya 19% pada kuartal pertama 2025. Fenomena ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia sedang menghadapi tantangan deindustrialisasi dini.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menilai kondisi ini sebagai alarm bagi masa depan ekonomi nasional. “Purchasing Managers Index (PMI) bulan April turun ke angka 4,67 – menunjukkan kontraksi. Ini terjadi karena produsen menumpuk stok barang untuk permintaan yang tak kunjung datang,” ungkapnya dalam Innovation Summit Southeast Asia 2025 (ISSA) di Jakarta. Hal ini sejalan dengan data kuartal I/2025 Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan kontraksi pertumbuhan industri non-migas seperti industri alat angkutan yang mengalami -3.46% yoy, industri mesin -1.38% yoy, dan sektor tembakau yang mengalami kontraksi terdalam yaitu -3.77% yoy.
Menurut Fithra, solusi jangka panjang bukan sekadar stimulus ekonomi, melainkan integrasi kembali ke jaringan produksi global melalui liberalisasi perdagangan dan reformasi kebijakan domestik. “Koherensi kebijakan dan reformasi regulasi adalah fondasi utama. Tanpa itu, industri kita akan terus tertinggal,” tegasnya.
Fithra menekankan pentingnya sinergi lintas sektor melalui pendekatan quadruple helix—kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan komunitas. “Kita butuh faktor penyatu yang mampu mendorong lompatan pembangunan. Bukan sekadar program jangka pendek, tapi konsensus pertumbuhan jangka panjang,” ujarnya.
Senada dengan itu, Prof. Bustanul Arifin dari Universitas Lampung menyoroti lemahnya dukungan terhadap riset dan inovasi. “86% pendanaan riset masih berasal dari sektor publik. Partisipasi swasta hanya 14%. Padahal, inovasi tak bisa berjalan tanpa kemitraan yang kuat,” jelasnya.
Ia juga menyinggung hambatan regulasi yang menghambat implementasi insentif riset. “Undang-Undang sudah mengatur insentif pajak untuk investasi R&D, tapi implementasinya masih jauh dari harapan.”
Bustanul menegaskan bahwa inovasi tidak bisa lagi dilakukan secara top-down seperti di era sentralisasi. Ia mendorong model kolaboratif seperti ABG (Akademisi, Bisnis, Pemerintah) dan Quadruple Helix yang juga melibatkan masyarakat sipil. “Bahkan jika hanya satu atau dua kemitraan yang berhasil, dampaknya bisa sangat besar,” tambahnya.
Baca Juga: Menteri Maman Ajak Industri Waralaba Perkuat Ragam Bisnis UMKM
Sementara itu, mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Prof. Tikki Pangestu, menyoroti pentingnya menjembatani riset dan kebijakan publik. “Banyak riset di Indonesia yang hanya berhenti di jurnal. Padahal, kita punya lembaga seperti BKPK yang seharusnya menjadi penghubung antara sains dan kebijakan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya regulasi yang proporsional, khususnya di sektor kesehatan. Salah satu contohnya adalah perlunya pendekatan berbasis bukti dalam mengatur produk tembakau alternatif. “Dua dari tiga pria Indonesia adalah perokok. Kita perlu mempertimbangkan solusi seperti THR (Tobacco Harm Reduction) untuk menurunkan beban penyakit kronis,” jelasnya.
Dalam sesi yang sama Senior Partner di firma konsultansi global Roland Berger, Ashok Kaul, menyampaikan pandangannya yang senada dengan Prof. Tikki Pangestu. Ia menggambarkan transformasi industri sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar utama: penawaran, permintaan, dan kebijakan yang menjembatani keduanya.
Menurut Ashok, pilar pertama adalah sisi penawaran (supply side), dimana industri harus diberi ruang dan insentif untuk bereksperimen, berinovasi, dan menciptakan produk unggulan. Tanpa kebebasan untuk mencoba hal baru, industri akan stagnan dan tertinggal.
Pilar kedua adalah sisi permintaan (demand side), yang menurutnya harus diatur dengan regulasi yang melindungi konsumen, namun tidak membatasi laju inovasi. Pilar ketiga, dan yang paling krusial menurut Ashok, adalah titik temu antara penawaran dan permintaan—disinilah peran pemerintah menjadi sangat strategis. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang berbasis risiko (risk-proportionate regulation), yaitu kebijakan yang mempertimbangkan potensi risiko tanpa mematikan potensi inovasi.
Baca Juga: Imbas Perang Tarif, Berkah buat Industri Otomotif Nasional?
“Di sinilah peran kebijakan fiskal seperti pajak menjadi paling menentukan. Saya pendukung kuat regulasi berbasis risiko (risk-proportionate regulation),” ujar Ashok.
Ashok mengungkapkan bahwa langkah Pemerintah Indonesia yang memberikan insentif untuk mendukung adopsi kendaraan listrik yang memiliki tingkat emisi lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil merupakan salah satu contoh nyata penerapan regulasi berbasis risiko.
Para pakar sepakat bahwa masa depan transformasi industri Indonesia bergantung pada kemampuan untuk membangun ekosistem kolaboratif, mendorong inovasi lintas sektor, dan merancang kebijakan yang inklusif dan berorientasi jangka panjang. Tanpa itu, mimpi menuju ekonomi berbasis pengetahuan akan semakin menjauh.
Apa yang Terjadi pada Tubuh saat Berhenti Merokok?2025-05-21 03:28
Buzzer Anies Dituding Bayarannya Satu Orangnya Puluhan Juta, yang Bilang Orang ini...2025-05-21 02:55
Ramai Nasi Uduk Aceh Jual Dendeng Babi, Wagub DKI Beri Respons Luar Biasa2025-05-21 02:40
ASN Asal Ternate Diduga Gunakan Narkoba Ditangkap di Jakarta2025-05-21 02:27
7 Manfaat Makan Buncis, Ada Efek Sampingnya Enggak?2025-05-21 02:21
Momen Jokowi Bertemu Presiden Sri Lanka di Sela WWF ke2025-05-21 02:13
Jangan Simpan Semangka di dalam Kulkas, Kenapa?2025-05-21 02:08
Dijemput Petugas, Bripka Madih Kembali Jalani Pemeriksaan di Polda Metro Jaya2025-05-21 02:03
Turis Minta Maaf Usai Coret2025-05-21 01:51
Efek Formula E Disebut Dongkrak Elektabilitas Anies Baswedan, Pengamat: Oktober Orang Akan Lupa2025-05-21 01:24
Wapres Ma'ruf: Kompolnas Harus Diperkuat Perannya, Bukan Dibubarkan2025-05-21 04:02
Ibu, Pertimbangkan Kenyamanan Anak Jika Dibawa ke Tempat Kerja2025-05-21 03:39
Kasus yang Berulang Tiap Tahun: Pemalsuan Air Galon Isi Ulang2025-05-21 03:11
BUMN Tak Jadi Sponsor Formula E, Pengamat: Harusnya Penyelenggara Tahu Kalau.....2025-05-21 03:03
3 Sanksi Rekomendasi Komnas HAM Terhadap Polisi Terlibat Obstruction of Justice Kasus Brigadir J2025-05-21 02:40
Sindir Menteri BUMN Erick Thohir? Ketua Panitia Formula E: Listrik PLN Kami Bayar Full2025-05-21 02:38
Kementan Bantu Petani Wujudkan Impian Pembangunan Agro Eduwisata di Cianjur2025-05-21 02:18
Bali Masuk Daftar Destinasi yang Sebaiknya Tak Dikunjungi pada 20252025-05-21 02:04
5 Jenis Olahraga Terbaik buat Kamu yang Mau Memulai Gaya Hidup Sehat2025-05-21 01:46
Hadir di World Expo 2025 Osaka, PT PII Buka Peluang Pembangunan Inklusif dan Berkelanjutan2025-05-21 01:38