您的当前位置:首页 > 探索 > Sinergi Jadi Kunci Transformasi Ekonomi di Tengah Ancaman Deindustrialisasi dan Minimnya Inovasi 正文
时间:2025-05-21 02:30:39 来源:网络整理 编辑:探索
Warta Ekonomi, Jakarta - Indonesia tengah berada di persimpangan penting dalam perjalanan ekonominya quickq苹果版是什么
Indonesia tengah berada di persimpangan penting dalam perjalanan ekonominya. Di satu sisi, sektor industri masih menjadi tulang punggung Produk Domestik Bruto (PDB). Namun di sisi lain, kontribusinya terus menurun – dari sekitar 26% di awal 2000-an menjadi hanya 19% pada kuartal pertama 2025. Fenomena ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia sedang menghadapi tantangan deindustrialisasi dini.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menilai kondisi ini sebagai alarm bagi masa depan ekonomi nasional. “Purchasing Managers Index (PMI) bulan April turun ke angka 4,67 – menunjukkan kontraksi. Ini terjadi karena produsen menumpuk stok barang untuk permintaan yang tak kunjung datang,” ungkapnya dalam Innovation Summit Southeast Asia 2025 (ISSA) di Jakarta. Hal ini sejalan dengan data kuartal I/2025 Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan kontraksi pertumbuhan industri non-migas seperti industri alat angkutan yang mengalami -3.46% yoy, industri mesin -1.38% yoy, dan sektor tembakau yang mengalami kontraksi terdalam yaitu -3.77% yoy.
Menurut Fithra, solusi jangka panjang bukan sekadar stimulus ekonomi, melainkan integrasi kembali ke jaringan produksi global melalui liberalisasi perdagangan dan reformasi kebijakan domestik. “Koherensi kebijakan dan reformasi regulasi adalah fondasi utama. Tanpa itu, industri kita akan terus tertinggal,” tegasnya.
Fithra menekankan pentingnya sinergi lintas sektor melalui pendekatan quadruple helix—kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan komunitas. “Kita butuh faktor penyatu yang mampu mendorong lompatan pembangunan. Bukan sekadar program jangka pendek, tapi konsensus pertumbuhan jangka panjang,” ujarnya.
Senada dengan itu, Prof. Bustanul Arifin dari Universitas Lampung menyoroti lemahnya dukungan terhadap riset dan inovasi. “86% pendanaan riset masih berasal dari sektor publik. Partisipasi swasta hanya 14%. Padahal, inovasi tak bisa berjalan tanpa kemitraan yang kuat,” jelasnya.
Ia juga menyinggung hambatan regulasi yang menghambat implementasi insentif riset. “Undang-Undang sudah mengatur insentif pajak untuk investasi R&D, tapi implementasinya masih jauh dari harapan.”
Bustanul menegaskan bahwa inovasi tidak bisa lagi dilakukan secara top-down seperti di era sentralisasi. Ia mendorong model kolaboratif seperti ABG (Akademisi, Bisnis, Pemerintah) dan Quadruple Helix yang juga melibatkan masyarakat sipil. “Bahkan jika hanya satu atau dua kemitraan yang berhasil, dampaknya bisa sangat besar,” tambahnya.
Baca Juga: Menteri Maman Ajak Industri Waralaba Perkuat Ragam Bisnis UMKM
Sementara itu, mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Prof. Tikki Pangestu, menyoroti pentingnya menjembatani riset dan kebijakan publik. “Banyak riset di Indonesia yang hanya berhenti di jurnal. Padahal, kita punya lembaga seperti BKPK yang seharusnya menjadi penghubung antara sains dan kebijakan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya regulasi yang proporsional, khususnya di sektor kesehatan. Salah satu contohnya adalah perlunya pendekatan berbasis bukti dalam mengatur produk tembakau alternatif. “Dua dari tiga pria Indonesia adalah perokok. Kita perlu mempertimbangkan solusi seperti THR (Tobacco Harm Reduction) untuk menurunkan beban penyakit kronis,” jelasnya.
Dalam sesi yang sama Senior Partner di firma konsultansi global Roland Berger, Ashok Kaul, menyampaikan pandangannya yang senada dengan Prof. Tikki Pangestu. Ia menggambarkan transformasi industri sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar utama: penawaran, permintaan, dan kebijakan yang menjembatani keduanya.
Menurut Ashok, pilar pertama adalah sisi penawaran (supply side), dimana industri harus diberi ruang dan insentif untuk bereksperimen, berinovasi, dan menciptakan produk unggulan. Tanpa kebebasan untuk mencoba hal baru, industri akan stagnan dan tertinggal.
Pilar kedua adalah sisi permintaan (demand side), yang menurutnya harus diatur dengan regulasi yang melindungi konsumen, namun tidak membatasi laju inovasi. Pilar ketiga, dan yang paling krusial menurut Ashok, adalah titik temu antara penawaran dan permintaan—disinilah peran pemerintah menjadi sangat strategis. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang berbasis risiko (risk-proportionate regulation), yaitu kebijakan yang mempertimbangkan potensi risiko tanpa mematikan potensi inovasi.
Baca Juga: Imbas Perang Tarif, Berkah buat Industri Otomotif Nasional?
“Di sinilah peran kebijakan fiskal seperti pajak menjadi paling menentukan. Saya pendukung kuat regulasi berbasis risiko (risk-proportionate regulation),” ujar Ashok.
Ashok mengungkapkan bahwa langkah Pemerintah Indonesia yang memberikan insentif untuk mendukung adopsi kendaraan listrik yang memiliki tingkat emisi lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil merupakan salah satu contoh nyata penerapan regulasi berbasis risiko.
Para pakar sepakat bahwa masa depan transformasi industri Indonesia bergantung pada kemampuan untuk membangun ekosistem kolaboratif, mendorong inovasi lintas sektor, dan merancang kebijakan yang inklusif dan berorientasi jangka panjang. Tanpa itu, mimpi menuju ekonomi berbasis pengetahuan akan semakin menjauh.
Asik, Pekerja di IKN Tidak Kena Pajak PPh 212025-05-21 02:13
Gantikan Faik Fahmi, Erick Thohir Tunjuk Muhammad Rizal Pahlevi jadi Dirut InJourney2025-05-21 01:16
Remaja Bogor Viral Disebut Berubah Kelamin, Ini Penjelasan Dokter2025-05-21 00:52
Rumah di Duren Sawit Digembok Paksa, Ibu dan Anak Usia 2 Tahun Terkurung 3 Hari2025-05-21 00:26
Ular Masuk Kereta, Penumpang Satu Gerbong Dievakuasi2025-05-21 00:25
Kejagung Sita 7,7 Kg Emas dalam Kasus Korupsi 109 Ton Emas2025-05-21 00:08
Luhut Pandjaitan Ungkap Bahan Bakar Calon Pengganti BBM Bensin2025-05-21 00:08
Pulau Ini Penduduknya Hanya 20 Orang, tapi Dihuni 1 Juta Burung2025-05-21 00:03
Dokter Sebut Pesawat Umum dan Pribadi Sama2025-05-20 23:51
Berburu Kuliner di Batavia PIK 2, Ada Resto Nasional2025-05-20 23:47
Polri Prediksi Potensi Kerawanan Natal Tahun Ini Lebih Tinggi: Bertepatan dengan Masa Kampanye2025-05-21 01:58
Remaja Bogor Viral Disebut Berubah Kelamin, Ini Penjelasan Dokter2025-05-21 01:21
Kominfo Sebut Masalah Judol Tak Akan Pernah Tuntas Sampai Kiamat2025-05-21 01:09
Kemenag RI Minta Penghulu dan Penyuluh Edukasi Bahaya Judi Online pada Calon Pengantin2025-05-21 01:08
Emiten Minuman Multi Bintang (MLBI) Siap Guyur Dividen Jumbo ke Investor, Cek Jadwalnya!2025-05-21 00:49
Pemkot Bersiap Sambut Kepulangan Jemaah Haji Tahun 2023 di Asrama Haji Kota Tangerang2025-05-21 00:44
Kamis Siang, Kualitas Udara Jakarta Tempati Posisi Ketiga Terburuk di Dunia2025-05-21 00:39
Dukung Energi Hijau, Bank Capital Borong 2.098 MWh Sertifikat REC2025-05-20 23:58
Alasan Pria Disebut Lebih Mudah Sakit Dibanding Wanita2025-05-20 23:58
Menteri PKP Usul Revisi UU No 23 Tahun 2014, Minta Pemda Bantu Selesaikan Masalah Perumahan2025-05-20 23:44